REDHA: KEREDHAAN: MEREDAI: DIREDHAI.
Barangkali kita amat selesa bila mendengar perkataan:
"Saya redha atas apa yang terjadi..."
"Aku meredainya.."
"Diri ku mencari keredhaan..."
"Abang, redhalah apa yang terjadi..."
Banyak lagi ungkapan redha yang amat kerap didengari dilafaskan. Di dunia siber ini, lebih meluas lagi perkataan 'redha' digunakan malah di posst dalam whatsapp, wechat, fb dalam IG juga Twitter.
Namun sejauh mana ianya begitu mendalam meresap dalam penghayatan rasa dan perasaan hamba yang pasrah.
Tidakkah ada suatu rasa yang diluar kotak pemikiran kta untuk di renungkan. Berfikir dan renungkanlah penghayatan 'redha' pada diri kita sendiri.
Barangkali kita terlupa atau tidak memahami. Nilai redha itu.
Redha hakikatnya suatu MUJAHADAH.
Seringkali apabila mengatakan 'ana redha', diri ku berdialog:
"adakah ana mampu dan terus bertahan mengizinkan mereka berbuat sesuka hati, kemudian memaafkan apa yang telah diperlakukan atas perasaan ana ini".
Setiap kali air mata ku tumpah, bagai suatu kebodohan menerjah minda ku.
"Mudahnya mereka meminta maaf, untuk dimaafkan".
"Tidak ada sedikit pun rasa kasehan mereka pada orang mereka sakiti".
"Mudahnya mereka menerima maaf, mensyukuri dan berterimakasih bila dimaafkan juga meletakkan redha ketentuan Allh taala".
"Adakah tidak terasa malu dengan Allah taala melihat orang yang disakiti merayu minta pengampunan Allah dan mengharap keredhaan Allah, sedang kita dengan rasa syukur sebab telah dimaafkan kesilapan kita".
Kita sering terlupa, betapa sewenang-wenangnya kita menggunakan lidah kita dalam berbicara. Benar, terlalu mudah kita mengaitkan rasa kita yang tidak selesa untuk dikongsi dan membina bahasa indah-indah dan mulia.
Sebagaimana pesan Rasulullah saw,"Jagalah lidah" kerana lidah[tulisan] adalah 'KUNCI SEGALA IBADAH'. [Hadith 29; Hadith 40 Imam Nawawi]
Walaupun detik hati mengatakan kita 'tiada niat'. Tapi mengguris perasaan orang lain tanpa disegajakan adalah menjuruskan kita orang-orang yang lalai. Kita tidak peka, jiwa kita tidak sensitif dengan perasaan orang lain.
REDHA bukan sekadar ucapan. Ianya tidak semudah memaafkan dan meminta maaf.
Redha memerlukan KESABARAN.
Redha memerlukan KESABARAN.
Seandainya meminta maaf itu lebih mulia apabila dilafaskan apabila kita rasa bersalah maupun tidak bersalah.
Redha perlu diri merasa HAMBA.
Redha perlu diri merasa HAMBA.
MAKA:
Redha itu akan datang bersama air mata dan jiwa yang hancur-luluh setelah hati diinjak-injak.
Redha akan mengiringi kehancuran keyakinan dengan perasaan yang menyerah pada Allah taala.
Redha memaksa memberi ketaatan dan kaseh-sayang yang tidak berbelah bagi walaupun hatinya dirobek-robek.
Redha membawa seseorang membuang harga dirinya untuk menerima ketentuan Allah swt.
Redha akan mengenepikan kelemahan seseorang untuk diterima seadanya untuk sabar dengan ketentuan Allah taala.
Redha membiarkan diri direndahkan diperbodohkan dihina, semata-mata untuk memohon pengampunan Allah taala.
Redha menjadikan dirinya lebih dekat dengan Allah swt pencipta mahluk yang lemah.
Redha yang kita dengar yang diimpak kepada kita sebenarnya perlu kita sedar bahawa kita:
-membuatkan dia menangis.
-kita menyusahkan mereka.
-Penderitaan itu dari kita.
-Menghampakan dia.
Maka layakkah kita gembira apabila ada yang menujukan redha itu dari perbuatan kita padanya.
Renungkanlah. Tidakkah kita terasa malu dengan diri kita untuk mendengar mereka mengatakan 'Saya Redha'.
Bersyukurlah segala yang t
erjadi pada kita ada rasa REDHA dengan ketentuan ALLAH swt.
Redha itu datang bersama AKHLAK.
Akhlak itu adalah pakaian orang berIMAN.
No comments:
Post a Comment